top of page

SEMINARITINGGI SANTO PETRUS

TEMPAT SEMAI IMAM DIOSESAN GEREJA REGIO SUMATRA

Sejarah Seminari Tinggi Santo Petrus

            Berdirinya Seminari Tinggi St. Petrus, Sinaksak-Pematangsiantar, tidak terlepas dari sejarah panjang kehadiran Gereja Katolik di Indonesia, khususnya di Sumatera. Seminari Tinggi St. PEtrus, yang merupakan seminari antar keuskupan Sumatera, merupakan sebuah mosaic sejarah Gereja di Sumatera dan buah dari perjalanan sejarah itu sendiri. Berikut ini akan dipaparkan secara ringkas latar belakang sejarah perkembangan Gereja di Sumatera sampai dengan didirikannya seminari tinggi antar keuskupan Sumatera, yakni Seminari Tinggi St. Petrus yang kini berkedudukan di Pematangsiantar, Sumatera Utara.

​

1. Latar Belakang: Sejarah Gereja Katolik di Sumatera

​

              Setelah jejak pertama kehadiran Gereja Katolik di Sumatera pada tahun 600-an “raib” dan nyaris tak meninggalkan bekas, Gereja Katolik muncul kembali pada abad ke-16 di dua daerah di Sumatera: Aceh di utara dan Bengkulu di tenggara. Ketika orang Portugis menaklukkan Malaka pada tahun 1511, mulai terjadi kontak dagang antara orang-orang Portugis dengan orang-orang Aceh, yang sebelumnya menolak kedatangan mereka. Rupanya hubungan antara orang Portugis dengan orang Aceh tidaklah selalu buruk dan tegang. Suatu ketika orang Aceh mengijinkan orang Portugis memasuki daerah Aceh. Mereka tinggal di daerah pesisir. Kebutuhan rohani orang Portugsi itu mengawali beridirinya Gereja dan menghadirkan iman di Sumatera bagian Utara.

            Pada awal tahun 1685 orang Inggris tiba di Sumatera dan pada tahun 1711 mereka membangun pangkalan di Bantal dan Muko-muko, di bagian utara Bengkulu. Pemimpin orang Inggris memohon para misionaris dari imam-imam Theatin datang ke Bengkulu untuk memelihara hidup raohani para pedagangm sedadu dan para pelaut Inggris di sana.

            Dengan kehadiran Gereja Katolik di dua daerah itu, mulailah sejarah baru Gereja Katolik di Pulau Sumatera, yang tumbuh dan berkembang sampai saat ini.

            Sampai pada penghujung abad ke-19, seluruh Nusantara merupakan wilayah misi Ordo Serikat Yesus (SJ) di bawah pimpinan Vikariat Apostolik Batavia. Baru pada awal abad ke-20, terjadi pembagian wilayah misi di Indonesia. Tahun 1902 imam-imam MSC menerima tanggung jawab karya misi di bagian timur Nusantara. Menyusul pada tahun 1905, Ordo Kapusin Belanda mengambil alih Borneo (Kalimantan) sebagai daerah misi mereka. Enam tahun kemudian, yakni pada tahun 1911, seluruh Sumatera juga menjadi wilayah misi Kapusin Belanda. Tanggal 30 Juni 1911, wilayah Sumatera didirikan menjadi Prefektur Apostolik Sumatera, yang berkedudukan di Padang. Pada tahun 1912, misionaris Kapusin tiba di Sumatera untuk menggantikan para misionaris Yesuit. Pada tanggal 24 Mei 1912, P. Liberatus Cluts OFM. Cap diangkat  menjadi Prefek Apostolik Sumatera. Tahun 1921 beliau mangkat secara tiba-tiba di atas kapal, dalam perjalanan dari Padang untuk kunjungan umat menuju Bengkulu. Beliau digantikan oleh Mgr. Mathias Brans sebagai Prefek Apostolik.

              Pada kurun waktu antara tahun 1912-1921, keseluruhan misionaris Kapusin yang diutus untuk berkarya di Prefektur Apostolik Sumatera berjumlah 20 orang. Namun, pada saat Mgr. Mathias Brans menjadi prefek untuk menggantikan Mgr. Cluts, jumlah mereka tinggal 10 orang. Misi di Sumatera ternyata sulit karena wilaya Sumatera sangat luas. Para misioanaris Kapusin Belanda “hampir putus asa” sampai-sampai mereka memohon ke Generalat Kapusin di Roma untuk meninggalkan wilayah misi Sumaera, tetapi permohonan mereka ditolahk Roma.

           Untuk mengintensifkan pelayanan pastoral, pada tanggal 27 Desember 1923 terjadi pembagian wilayah misi di Sumatera, yang telah dipersiapkan sejak Mgr. Mathias Brans menjadi Prefek Apostolik Sumatera. Prefektur Apostolik Sumatera dimekarkan dan didirikan menjadi tiga prefektur yang baru, yakni Padang, Bengkulu dan Bangka Belitung. Prefektur Apostolik Padang menjadi wilayah misi Ordo Kapusin dan Prefek Apostolik adalah Mgr. Brans. Prefektur Apostolik Bengkulu, yang awalnya berkedudukan di Tanjungsakti dan pada tahun 1925 dipindahkan ke Palembang, menjadi wilayah misi Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCY), dan Prefek Apostolik adalah Mgr. H.L. Semeets. Prefektur Apostolik Bangka Belitung menjadi wilayah misi Imam-imam Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria (SSCC) dan Prefek Apostolik adalah MGr. Herkenrath. Pembaigan Sumatera menjadi tiga prefektur sungguh bermanfaat bagi pelayanan pastoral dan sungguh nyata mempercepat jumlah pemeluk agama Katolik di Sumatera. Prefektur Padang memiliki 3 stasi, yakni Padang, Medan dan Kota Raja (Banda Aceh), sedang kedua prefektur lain masing-masing memiliki satu stasi, yakni Sungai Selan di Bangka dan Tangjungsakti di Bengkulu.

            Tahun 1932 Prefektur Apostolik Padang berubah menjadi Vikariat Apostolik Padang dan Mgr. Mathias Brans dikukuhkan menjadi Vikarius Apostolik. Menyusul pada tahun 1939, Prefektur Apostolik Palembang berubah menjadi Vikariat Apostolik Palembang, dan Bikarius Apostolik adalah Mgr. Henri Martin Mekkelholt. Demi alasan efisiensi karya kerasulan yang mulai semakin berkembang di wilayah Medan dan Sumatera bagian utara, sedis Vikariat Apostolik Padang dipindahkan ke Medan dan namanya menjadi Vikariat Apostolik Medan. Selanjutnya, pada tahun 1951, Prefektur Apostolik Pangkalpinang (Bangka Belitung) berubah menjadi Vikariat Apostolik Pangkalpinang dan Vikarius Apostolik adalah Mgr. Gabriel van der Westen.

            Pada tahun 1952, Gereja di Sumatera kembali dimekarkan. Tanggal 19 Juni 1952, dua prefektur baru didirikan, yakni Prefektur Apostolik Tanjungkarang yang merupakan pemekaran dari Vikariat Apostolik Palembang dan Prefektur Apostolik Padang yang merupakan pemekaran dari Vikariat Apostolik Medan. Prefektur Apostolik Padang menjadi tanggung jawab misi dari Serikat Xaverian (SX). Pada tanggal 17 Nopember 1959 didirikan satu prefektur baru di Sibolga, yang merupakan pemekaran dari Vikariat Apostolik Medan.

           Tanggal 3 Januari 1961 Hirariki Gereja Katolik Indonesia dibentuk. Sumatera menjadi salah satu propinsi gerejawi yakni Propinsi Gerejawi Medan, yang terdiri dari 5 keuskupan dan satu prefektur apostolik. Keuskupan Medan ditetapkan menjadi takhta metropolit yakni Keuskupan Medan dengan 4 keuskupan sufragan, yakni Palembang Padang, Keuskupan Palembang, Palembang Tanjungkarang dan Palembang Pangkalpinang; sementara Prefektur Apostolik Sibolga masih tetap status hukumnya sebagai prefektur apostolik. Baru pada tanggal 24 Oktober 1980 Prefektur Apostolik Sibolga ditetapkan menjadi keuskupan sufragan dan menjadi bagian dari Propinsi Gerejawi Medan.

            Sampai tahun 1980, selama kurun waktu kurang lebih 70 tahun, dari satu prefektur apostolik di Sumatera sudah menjadi 6 keuskupan. Selama kurun waktu itu pula, benih-benih iman ditaburkan oleh para imam misionaris dari berbagai tarekat/ordo, yakni Kapusin di Medan dan Sibolga, Serikat Xaverian di Padang, Hati Kudus Yesus di Palembang dan Tanjungkarang, dan SSCC di Pangkalpinang. Seiring perjalanan waktu dan dibarengi dengan perkembangan umat dan pentingya pelayanan pastoral yang semakin mendesak, para uskup dari keenam keuskupan yang ada di Sumatera mulai memikirkan untuk membangun sebuah tempat pendidikan calon imam diosesan untuk Sumatera.

​

2. Gagasan Mendirikan Seminari Tinggi Antar Keuskupan di Sumatera

​

            Sampai tahun 70-an para uskup Sumatera, yang memiliki calon imam diosesan, mengirim calon imamnya untuk studi filsafat dan teologi di Pulau Jawa, ke Seminari Tinggi Kentungan di Yogyakarta, yang merupakan seminari antar keuskupan Regio Gerejawi Jawa. Sampai penghujung tahun 70-an sudah ada beberapa orang imam diosesan dari keuskupan-keuskupan Sumatera yang merupakan tamatan Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta. Sementara itu, para uskup dari Regio Gerejawi Jawa memberi sinyal kepada para uskup dari Propinsi Gerejawi Medan bahwa Seminari Tinggi Kentungan sudah tidak akan sanggup menampung calon imam dari luar Pulau Jawa, sebab dari keuskupan-keuskupan yang ada di Pulau Jawa sendiri calon imam yang dididik di sana cukup banyak. Dengan itu para uskup Sumatera mulai serius memikirkan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan calon imam diosesan di Sumatera.

       Dalam salah satu pertemuan pada tahun 1980, para uskup se-Sumatera menyepakati dan memutuskan bahwa di Sumatera akan dibentuk seminari tinggi antar keuskupan sebagai tempat pembinaan calon-calon imam disosesan dari keuskupan-keuskupan yang berasal dari Propinsi Gerejawi Medan. Kesepakan dan keputusan para uskup Sumatera itu dibawakan dan dibicarakan dengan serius dan panjang lebar dalam Sidang MAWI (sekarang KWI) pada tanggal 9-19 Nopember 1981 di Jakarta. Dapat disebutkan bahwa rencana itu semakin matang sesudah siding tersebut.

            Menindaklanjuti pembicaraan Sidan MAWI tahun 1981 di Jakarta, pada tanggal 22-25 Februari 1982 para uskup se-Sumatera bersama semua propinsial ordo/terakat yang berkarya di Sumatera mengadakan pertemuan di Pematangsiantar, Sumatera Utara. Tujuan pertemuan itu terutama adalah pematangan dan realisasi didirikannya seminari tinggi diosesan antar keuskupan Sumatera. Pada pertemuan tanggal 22 Februari itu, tepatnya pada Pesta Takhta St. Petrus, diputuskan bahwa seminari itu akan dimuali pada Tahun Akademik 1982-1983. Dapat dikatakan bahwa pada tanggal 22 Februari 1982 jadilah “janin” seminari antar keuskupan Sumatera.

           Agar “janin” seminari itu dapat lahir, para uskup Sumatera secara resmi mealui surat memohon bantuan tenaga imam dari Keuskupan Agung Semarang untuk menjadi Pembina. Selain melalui surat, mewakili para uskup se-Sumatera Mgr. Henrisoesanto dari Keuskupan Tanjungkarang diutus ke Semarang untuk membicarakan permohonan itu secara langsung dengan Mgr. A. Djajasiswaja, Vikaris Kapitularis/Administrator Diosesan Keuskupan Agung Semarang.

            Tanggal 19 Maret 1982, Mgr. Djajasiswaja menjawab permohonan para uskup tersebut melalui surat. Beliau mengabulkan permohonan itu dan akan mengutus seorang imam diosesan Keuskupan Agungn Semarang, yakni Rm. L. Wiryodarmodjo. Terhitung sejak tanggal 12 April 1982, Rm. Wiryodarmodjo – yang pada saat itu menjabat sebagai Vikaris Episkopal Yogyakarta – diutus dan ditugaskan ke Medan, Sumatera Utara, untuk mempersiapkan kelahiran seminari tinggi antar keuskupan Sumatera dan sekaligus menjadi pembinanya.

​

3. Gagasan Menjadi Kenyataan: Berdirinya Seminari Tinggi Antar Keuksupan Sumatera

​

3.1 Sedis (Tempat Kedudukan) Seminari

​

            Pada pertemuan para uskup se-Sumatera tanggal 22-25 Februari 1982 diputuskan bahwa seminari diosesan antar keuskupan Sumatera akan didirikan di Parapat, Sumatera Utara. Pemilihan tempat kedudukan seminari itu terkait erat dengan tenaga-tenaga pengajar/Pembina intelektual. Di Parapat sudah ada Seminari Agung (biara) Kapusin yang membina calon-calon imam Kapusin dari Medan, Pontianak dan Sibolga. Para saat itu, pihak Ordo Kapusin menyambut dengan tangan terbuka dan siap bekerja sama dengan para uskup untuk mewujudkan cita-cita itu. Bahkan, Ordo Kapusin berjanji membantu memfasilitasinya. Oleh karena itulah seminari antar keuskupan Sumatera diputuskan untuk didirikan dan berkedudukan di Parapat, Sumatera Utara, di wilayah Keuskupan Agung Medan.

​

3.2. Persiapan Awal

​

         Rm. L. Wiryodarmodjo, Pr (biasa dipanggil Rm. Wiro) tiba di Medan pada 27 Mei 1982. Dua hari kemudian, beliau tiba di Parapat. Beliau menginap di Biara Kapusin Parapat sambil memikirkan dan mencari rumah pembinaan untuk calon-calon imam diosesan yang segera akan dibuka dan dimulai pada tahun ajaran baru 1982/1983. Dalam waktu yang relatif singkat, beliau mempersiapkan dengan perjuangan dan kerja keras, sebab beliau memulai dari nol. Kerja keras dan semangat, dibarengi dengan keyakinan dan doa, serta dibantu oleh parstor paroki Parapat, P. Hyginus Silaen, Rm. Wiro berusaha sebisanya untuk mempersiapkan segala sesuatu, walaupun apa adanya.

            Langkah pertama yang harus segera ada adalah rumah pembinaan. Rm. Wiryo mencari rumah untuk disewa dan dijadikan gedung seminari darurat sebelum ada gedung sendiri. Ada dua pilihan: pertama, sebuah rumah milik keluarga Bapa Usman Sirait, berlantai dua, terletak di Jalan Josep Sinaga, No. 1, Parapat, dekat dengan Biara Kapusin, dengan harga sewa satu juta rupiah per tahun; kedua, sebuah hotel dengan 15 kamar, dengan harga sewa 9 juta rupiah per tahun. Rm. Wiryo memilih yang pertama. Rm. Wiryo mulai menempati rumah yang merupakan bakal gedung seminari itu sejak 19 Juli 1982.

            Rumah sewaan dari keluarga Bapak Usman Siraitu itu di modifikasi seperlunya. Lantai atas disekat-sekat menjadi 13 kamar. Lantai bawah juga disekat untuk ruang doa, kamar makan dan ruang rekreasi. Pada bulan Juli 1982, para calon seminaris angkatan pertama mulai berdatangan. Mereka datang tidak serentak. Mereka berjumlah 12 orang: 7 orang dari Keuskupan Tanjungkarang, 3 orang dari Keuskupan Palembang dan 2 orang dari Keuskupan Padang. Setelah persiapan fisik dirasa cukup, Rm. Wiryo membuat persiapan rohani bagi 12 calon imam itu dengan retret. Sesudah retret, barulah diadakan penjubahan bagi mereka sekaligus dimulainya seminari tinggi antar keuskupan Sumatera.

​

3.3. Peresmian Berdirinya

​

            Seminari Tinggi Antar Keuskupan Sumatera resmi berdiri di Parapat, Sumatera Utara, pada 8 Agustus 1982 yang ditandai dengan Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh P. Laurentius Wiryodarmodjo, Pr, P. Benitius Brevoort, OFM. Cap dan P. Hyginus Silaen, OFM. Cap yang dihadiri oleh umat Paroki Parapat. Perayaan Ekaristi peresmian itu, juga ditandai dengan penjubahan 12 orang seminaris. Perayaan Ekaristi dan acara ramah tamah ditanggungjawabi oleh umat Katolik Paroki St. Fidelis, Parapat.

       Pada saat peresmiannya, seminari itu dinamai “Seminari Romo-romo Projo St. Petrus”. “Seminari” merujuk tempat pembinaan calon-calon imam; “Romo-romo Projo” menunjuk bahwa calon imam yang dibina di tempat itu adalah “calon imam praja” (=calon imam diosesan); nama “St. Petrus” dipilih sebab para Uskup Sumatera memutuskan untuk mendirikan seminari itu pada 22 Februari 1982 tepat pada Pesta Takhta St. Petrus, dan juga bahwa pendiri pembinaan calon imam praja pertama di Indonesia adalah Mgr. Petrus Willekens.

            Pada saat didirikan, gedung Seminari Romo-romo Projo St. Petrus terletak di Jalan Josep Sinaga, no. 1 Parapat, berupa sebuah rumah kontrakan berukuran kira-kira 9x9 meter dan berlantai dua. Dari sanalah dimulai “geliat” Seminari Tinggi St. Petrus yang sekarang ini. Pada saat dimulai, hanya ada seorang staf yakni Rm. L. Wiryodarmodjo, Pr, yang mengemban tugas sebagai rektor sekaligus prefek dengan 12 orang “romo mudo” (=frater calon imam).

​

4. Masa Awal di Parapat

​

            Selama tahun pertama di Parapat, ke-12 frater Seminari Romo-romo Projo St. Petrus menjalani Tahun Orientasi Rohani (TOR). Mereka belum mengikuti kuliah filsafat. Semua program pelajaran-pelajaran dan kegiatan Tahun Orientasi Rohani itu diisi sendiri oleh Rektor.

           Prinsip pembinaan yang dipakai oleh Rm. Wiryo dalam memulai Seminari Romo-romo Projo St. Petrus di Parapat adalah pengalaman beliau selama menjadi seminaris dan pengalamannya sendiri membina para seminaris di Seminari Tinggi Code, Yogyakarta. Para frater dididik untuk peka tehadap situasi masyakarat. Mereka dilatih untuk menghayati segalanya dari kesadaran sendiri, bukan karena diatur, diperintah, daiharuskan atau diwajibkan. Untuk mengembangkan bakat tulis-menulis para frater sekaligus sarana berkomunikasi dan berpastoral melalui tulisan, Seminari Romo-romo Projo St. Petrus menerbitkan mahalah “Petra” dengan format yang masih sederhana pada bulan September 1982.

            Tahun kedua, yakni Tahun Ajaran 1983-1984, calon imam yang masuk berjumlah 14 orang sehingga jumlah frater menjadi 26 orang. Tahun itu juga Rm. Wiryo m endapat rekan Pembina yakni Rm. Mardisuwignyo, Pr dari Keuskupan Agung Semarang. Dengan tambahan 14 orang frater dan seorang pembina, seminari membutuhkan rumah tambahan. Oleh karena itu Rm. Wiryo menyewa lagi 2 rumah keluarga dan memodifikasi rumah tersebut seperlunya. Ditentukan bahwa rumah induk adalah yang ada di Jalan Josep Sinaga no. 1.

           Sementara itu, pada 17-21 Februari 1984, para uskup Sumatera mengadakan rapat bersama Pimpinan Ordo Kapusin. Dalam rapat itu dicapai sebuah kesepakatan antara Ordo Kapusin dengan para uskup yakni Ordo Kapusin dan para uskup akan bekerja sama mengelola sebuah lembaga pendidikan calon imam. Lembaga pendidikan calon imam tersebut akan didirikan di Pematangsiantar. Sejak itu, mulailah dijajaki pemindahan Seminari Romo-romo Projo St. Petrus dari Parapat ke Pematangsiantar. Diperkirakan pada tahun antara 1986-1987 sudah dapat pindah ke Pematangsiantar sebab di Parapat sudak tidak memungkinkan lagi melihat perkembangan jumlah frater setiap tahun.

            Tahun ketiga, Tahun Ajaran 1984-1985 bertambah lagi jumlah frater sebanyak 18 orang, sementara dari angkatan tahun sebelumnya 6 orang mengundurkan diri, sehingga pada tahun ajaran itu jumlah frater keseluruhan adalah 38 orang dengan 2 orang pembina. Kebutuhan akan tempat tinggal kembali muncul. Oleh karena itu, terpaksa beberapa rumah lagi dikontrak.

           Tahun Ajaran 1985-1986 bertambah lagi jumlah frater sebanyak 19 orang. Dari angakatan sebelumnya 5 orang mengundurkan diri, sehingga jumlah keseluruhan frater menjadi 52 orang. Lagi-lagi seminari membutuhkan tempat tinggal sambil menunggu selesainya gedung baru di Pematangsiantar. Sampai tahun ajaran 1985-1986, selain rumah induk yang dikontrak dari keluarga Bapak Usman Sirait yang berada di Jalan Josep Sinaga, ada 7 rumah lain yang dikontrak dan dijadikan gedung seminari, yakni dari Keluarga Sidabutar, Keluarga Jimmy Connor, Keluarga Aris Sinaga, Keluarga Horas, Keluarga Tambunan, Keluarga Jai Yan dan Keluarga Viktor.

            Rumah pembinaan Seminari Romo-romo Projo St. Petrus yang terpisah antara satu dengan lainnya dan tersebar di tengah rumah-rumah masyarakat dirasa cukup menarik sekaligus memberi tantangan tersendiri bagi para frater dan para pembina. Oleh karena itu, para pembina mengharapkan para frater lebih dewasa dan para pembina memberi kepercayaan kepada para frater untuk mengawasi diri sendiri. Keadaan yang demikian membuat Seminari Romo-romo Projo St. Petrus segera dikenal secara luas di tengah masyarakat Parapat. Para frater juga terlibat dalam kehidupan riil masyarakat sekitar seperti menghadiri pernikahan, melayat orang yang meninggal, mendamaikan orang yang berkelahi dan berbagai macam pengalaman-pengalaman lainnya.

         Pada akhir tahun ajaran 1985-1986 pembangunan gedung seminari di Pematangsiantar sudah hampri rampung. Oleh karena itu, pada Juni 1986 para frater sudah bersiap-siap untuk pindah ke Pematangsiantar.

​

5. Perkembangan Selanjutnya

​

5.1. Perpindahan Sedes dari Parapat ke Pematangsiantar

​

            Ada dua alasan pemindahan Seminari Romo Projo St. Petrus dari Parapat ke Sinaksak; pertama, untuk menggabungkan tempat pendidikan Filsafat dan Teologi yang sebelumnya berada di dua tempat yang berbeda, pendidikan Filsafat di Parapat dan pendidikan di Pematangsiantar; kedua, para uskup dan Propinsial Ordo Kapusin melihat bahwa di Pematangsiantar lahan untuk preaktek berpastoral lebih luas dibangingkan dengan di Parapat. Sejak April dan Mei 1985 mulai dibangun seminari tinggi dan kampus STFT, berkat kehebatan Mgr. A.G. Pius Datubara mencari dana ke Jerman.

            Setelah gedung seminari tinggi berdiri, maka pada 15 Juli 1986, para frater secara resmi pindah dari Parapat ke Pematangsiantar. Di rumah dan tempat yang baru ini, Rm. Wiryodarmodjo, Pr mendapat teman pembina, yakni Rm. F.X. Wiryono, Pr, sebagai prefek. Rm. Wiryo merasa bahwa dua pembina masih sangat kurang untuk mendampingi para frater yang jumlahnya 79 orang, maka Rm. Wiryo memohon staf tambahan lagi kepada Mgr. Pius. Kebetulan Rm. Dr. J. Harsosusanta, Pr yang bertugas di Seminari St. Petrus Ritapiret, Flores, telah habis masa tugasnya. Beliau bersedia membantu di Seminari Tinggi St. Petrus. Pada 15 Oktober 1986, beliau tiba di STSP dan bertugas sebagai pembimbing spiritual.

​

5.2. Perubahan nama “Seminari Romo-romo Projo St. Petrus” menjadi “Seminari Tinggi St. Petrus”

​

            Nama Seminari Tinggi Romo-romo Projo St. Petrus yang dipakai saat masih di Parapat berubah menjadi Seminari Tinggi St. Petrus (STSP). Nama seminari tinggi sebelumnya tidak hanya dikenakan olehlembaga pendidikan calon imam diosesan, tetapi juga sudah dipakai oleh lembaga pendidikan filsafat di Parapat yaitu Seminari Agung Kapusin St. Fidelis. Rm. Wiryo mengusulkan kepada para uskup bahwa nama seminari tinggi hanya tepat diperuntukkan bagi rumah pembinaan calon imam diosesan. Seiring berjalannya waktu – setelah melalui proses yang panjang, meruhuk ke codex dan diskusi yang a lot – para uskup memutuskan bahwa nama seminari tinggi hanya dikenakan pada lembaga pendidikan calon imam diosesan.

            Maka, pada 28-29 Nopember 1985, dalam rapat para uskup, diputuskan bahwa nama rumah pembinaan calon imam diosesan adalah Seminari Tinggi St. Petrus. Tujuh bulan kemudian, tepatnya 30 Januari 1987, pukul 16.00 WIB Seminari Tinggi St. Petrus diberkati dan diresmikan. Upacara pemberkatan dan peresmian itu dihadiri keenam uskup Sumatera: Mgr. A.G. Pius Datubara, Mgr. Soudant, Mgr. A. Henrisoesanto, Mgr. Reochenbach, Mgr. A.B. Sinaga dan Mgr. Martinus Situmorang. Mgr. Hadisumarto yang kala itu menjadi ketua Konferensi Waligereja Indonesa (KWI), juga hadir sehari sesudahnya. Pada 31 Januari kampus STFT St. Yohanes diresmikan, yang dihadiri Nuntius, Mgr. Francesco Canlini.

            Tempat tinggal para frater di Seminari Tinggi St. Petrus dibangun dengan model unti-unit. Ide pembangunan dibawa dari Seminari Tinggi Code, Yogyakarta. Para frater digabung dari kelas terbawah sampai kelas tertinggi (teologi), hidup seperti satu keluarga, saling membimbing, lebih-lebih dari kelas yang tertinggi kepada kelas terbawah. Model unit juga dimaksudkan sebagai miniature pastoran, karena imam-imam diosesan nantinya akan menempati pastoran di paroki-paroki di mana ia ditugaskan. Selain itu imam diosesan adalah imam yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Ide tentang pembangunan model rumah yang bercirikan hidup bersama masyarakat (seperti di Parapat) yang diusulkan oleh Rm. Mangunwijaya (sebagai bentuk realisasai ide gereja diaspora), tidak diterima oleh para uskup dan para formator yang lain dengan pertimbangan bahwa para calon imam masih dalam pendidikan.

​

5.3. Pemisahan Rumah Pembinaan Tahun Orientasi Rohani (TOR) St. Markus dari Seminari Tinggi St. Petrus

​

            Sampai pada Tahun Ajaran 1993-1994, para calon imam diosesan, frater TOR dan frater yang studi filsafat dan teologi, dibina di satu tempat  yakni di Seminari Tinggi St. Petrus (STSP). Dalam perjalanan waktu, para pembina mengusulkan kepada para uskup supaya pembinaan para frater TOR terpisah dari frater yang studi filsafat dan teologi. Salah satu alasannya adalah demi tercapainya suatu system pembinaan yang lebih efektif, khususnya bagi para frater “pemula”.

            Para Bapa Uskup menampung usulan tersebut dan mulai memikirkan pembangunan rumah pembinaan untuk frater Tahun Orientasi Rohani. Pada awal tahun 1994, lokasi TOR mulai dibangun di Jl. Medan Km. 10, Gang Kamboja. Setelah pembangunan gedung selesai, maka para frater TOR angkatan 1994-1995 dibina di tempat yang baru itu.

6. Sekilas Data

            Sejak berdirinya hingga kini, Seminari Tinggi St. Petrus, Sinaksak-Pematangsiantar dipimpin oleh rektor sebagai berikut:

  • Rm. L. Wiryodarmodjo (1982-1987)

  • Rm. J.M. Harjoyo (1987-1992)

  • Rm. Ign. Djonowasono (1992-1997)

  • Rm. Mardisuwignyo (1997-1999)

  • Rm. Priyambono (1999-2001)

  • Rm. Aloysius Budi Purnomo (2001-2004)

  • Rm. Yacobus Istiono Hariprabowo (2004-2010)

  • Rm. Yohanes Harun Yuwono (2010-2013)

  • Rm. Antonius Moa Tolipung (2013-2015)

  • Rm. Laurentius Totok Subiyanto (2013-….)

Masa pendidikan di seminari tinggi berlangsung selama 8 tahun dengan perincian sebagai berikut: 1 tahun menjalani masa orientasi rohani (Tahun Orientasi Rohani = TOR), 4 tahun kuliah filsafat/teologi program S-1, kemudian 1 tahun menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) dan kemudian 2 tahun program pendidikan pastoral Post S-1.

© Seminari Tinggi Santo Petrus Sinaksak_Proudly created with Wix.com

bottom of page